Bob Marley, Seorang Revolusioner Dalam Kata-Kata, Lagu dan Perbuatan


Bob Marley, Musisi Raggae Revolusioner Sepanjang Masa

1. Pengantar
Hampir 34 tahun setelah kematiannya, nama Bob Marley masih berkibar di jagat musik. Namanya melegenda seperti juga John Lennon, Janis Joplin, Jim Morrison, Joe Strummer, dan Kurt Cobain.
Beberapa hari lalu, tepatnya 6 Februari, rakyat Jamaika dan dunia memperingati 70 tahun kelahiran Bob Marley. Ia dikenang sebagai musisi terbesar Jamaika, dan mungkin juga di dunia ketiga, yang sukses membawa lagu-lagunya di telinga ratusan jutaan penikmat musik di Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Ia mendapat gelar “King of Reggae”.
2. Sekilas kehidupan Sang Legenda
Jamaika adalah pulau yang indah dan kaya. Namun, pulau ini juga mewarisi sejarah kelam, terutama tentang kolonialisme dan perbudakan. Adalah Christopher Columbus yang mendaulat diri sebagai penemu pulau ini pada 1494. Namun, Bob Marley tahu kebohongan dibalik apa yang disebutkan oleh “penemuan baru” oleh Columbus itu.
“Anda belajar di sekolah tentang Christopher Columbus, Marco Polo. Bagaimana dengan tradisi orang-orang Afrika? Kami ingin belajar itu di sekolah. Kami tidak ingin belajar tentang Christopher Columbus dan semua itu…itu akan membuat anda menjadi kriminal. Ketika anda belajar tentang bagaimana orang-orang itu datang ke Jamaika, melihat suku India-Arawak (suku asli Jamaika, red), lalu membunuhi mereka. Dan kemudian mereka mengatakan menemukan tanah baru. Itu murni pemerkosaan, pembunuhan, dan perampokan,” kata Bob Marley.

Bob Marley kecil juga merasakan pedihnya praktek rasialisme. Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley, pada 6 Februari 1945, dari ayah dan ibu yang berasal dari ras yang berbeda. Ayahnya, Norval Marley, seorang kulit putih yang menjadi perwira angkatan laut kerajan Inggris. Sedangkan ibunya, Cedella Booker, adalah seorang pekerja di perkebunan. Karena perbedaan ras itulah, ayah dan ibunya dipaksa untuk tidak bersatu.
Tentang kejahatan rasialisme ini, Bob pernah berkata: “Jika Anda putih dan Anda salah, maka Anda salah. Jika Anda hitam dan Anda salah, maka Anda juga salah. Manusia ya manusia. Hitam, biru, merah muda, hijau. Tuhan tidak menciptakan aturan soal warna. Hanya masyarakat yang menciptakannya, membuat orang menderita.”
Bob Marley kecil juga merasakan perihnya kemiskinan. Karena tekanan kemiskinan, Marley yang mulai beranjak dewasa dan ibunya harus mengadu nasib di Kingston. Tepatnya di daerah Trench Town. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang terhimpit oleh kemiskinan, upah murah, kekurangan gizi, rumah-rumah yang berdinding kardus, dan praktek diskriminasi rasial.
Pada usia 14 tahun ia berhenti sekolah. Saat itu, untuk menyambung hidup, Bob sempat bekerja sebagai tukang las dan petugas kebersihan hotel. Kenangan Bob akan kota itu membekas dalam ingatannya. Beberapa karyanya terinspirasi oleh kota itu, seperti No Woman No Cry (1974), Trench Town Rock (1975) dan Trench Town—yang terakhir ini dirilis pada tahun 1983.

Namun demikian, di kota inilah Bob mengembangkan bakat musiknya. Bersama teman kecilnya, Neville Livingston aka Bunny Wailer, Bob mulai menghadiri kelas musik yang diadakan oleh Joe Higgs. Di sini pula ia bertemu dengan Peter (Macintosh) Tosh. Ketiganya langsung berkawan akrab sekaligus memotori berdirinya grup band legendaris: The Wailers.
3. Menyuarakan Perlawanan
Dalam “Sajak Sebatang Lisong”, penyair WS Rendra menulis, “Apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan.” Ya, Rendra betul. Kesenian yang terpisah dari derita lingkungan adalah seni yang tidak menjejakkan kakinya di bumi/realitas.
Dan jelas sekali, Bob Marley bukanlah tipikal seniman memilih berumah di atas angin. Ketika ia mulai rekaman single pertamanya, di tahun 1961, Jamaika masih di bawah jajahan Inggris. Lagu-lagu Bob Marley banyak merefleksikan keadaan di bawah kolonialisme Inggris, seperti lagu berjudul Judge Not, Terror, dan One More Cup of Coffe.
Tahun 1962, Jamaikan memperoleh kemerdekannya. Namun demikian, dominasi ekonomi oleh kolonialisme barat terus berlanjut. Mayoritas rakyat Jamaika, terutama kaum pribumi dan lapisan sosial terbawah, tetap kesulitan mengakses kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan yang layak, dan lain-lain.
Lagu-lagu Bob Marley jelas memihak, terutama kepada rakyat tertindas. Karena itu, lagu-lagu Bob Marley banyak mengambil tema tentang kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan sosial, kebutuhan akan perdamaian, dan hak azasi manusia. Semua itu tergambar dalam lagu No Woman No Cry, One Drop, Concrete Jungle, Slave Driver, Burnin’ and Looting’ dan lain-lain.
Namun, lagu-lagu Bob Marley bukan hanya menyuarakan ketertindasan rakyat, tetapi juga menyuarakan perlawanan. Ini sangat nampak pada lagu Get Up, Stand Up. Lagu itu terang-terangan mengajak kaum tertindas untuk bangkit dan berlawan. “Get up, stand up, stand up for your right,” teriak Bob Marley.
5. Bob Marley dan Politik Jamaika
Pasca kemerdekaannya, politik Jamaika terbelah dalam dua kutub: antara Partai Rakyat Nasional (PNP) yang nasionalis-progressif versus Partai Buruh Jamaika (JLP) yang konservatif. PNP dipimpin oleh Michael Manley. Partai ini menjanjikan redistribusi kekayaan dan mengangkat derajat ekonomi dan martabat kelas sosial paling bawah.
Tahun 1972, PNP memenangi pemilu dan menempatkan Manley sebagai Perdana Menteri. Saat itu, pemerintahan PNP berjuang keras untuk mengatasi kemiskinan dan buta-huruf. Kebijakan pemerintahan PNP saat itu adalah menggratiskan pendidikan, menaikkan upah minimum pekerja, dan memberikan subsidi bagi sektor sosial paling rentan. Kebijakan luar negeri PNP juga progressif dan anti-imperialis, termasuk upaya merapatkan hubungan dengan pemerintahan Fidel Castro di Kuba.
Menjelang pemilu 1976, eskalasi politik meningkat. Kelompok oposisi, yang terdiri dari JLP dan pimpinannya Edward Seaga, melancarkan aksi kekerasan. Imperialisme AS melalui CIA berusaha menggunakan Edward Seaga dan JLP untuk mendestabilisasi pemerintahan PNP. Akibatnya, kerusuhan jalanan tak terhindarkan.
Saat itu, untuk meredam eskalasi kekerasan, pemerintahan PNP menyelenggarakan kongser bertajuk “Smile Jamaica”. Kendati tidak berafiliasi dengan pemerintahan PNP, Bob Marley setuju tampil di kongser tersebut. Namun, dua hari menjelang kongser, terjadi upaya pembunuhan terhadap Marley dan keluarganya. Saat itu, kelompok bersenjata yang terkait dengan JLP menyatroni rumah dan melepaskan tembakan membabi-buta. Beruntung, tidak ada korban jiwa. Bob hanya mengalami luka kecil. Sedangkan istrinya, Rita, terserempet peluru di kepalanya. Luka terparah dialami oleh manajernya, Don Taylor, yang tertembak lima kali dan sempat kritis.
Teror itu tidak menghentikan langkah Bob dan kongser itu. Justru, lantaran penembakan itu, antusiasme massa makin meningkat. Sedikitnya 80.000 orang menghadiri kongser itu. Bob hadir di kongser itu dengan keberanian luar biasa. Bahkan, sebelum menyanyi, ia menyempatkan memperlihatkan lukanya kepada penonton.
Namun, tak lama setelah kejadian itu, Bob pindah ke london. Di sana ia melahirkan dua album: Exodus (1977) dan Kaya (1978). Namun, pada tahun 1978, Marley kembali ke Jamaika untuk berpartisipasi dalam kongser One Love Peace.
PNP sendiri berkuasa kembali di tahun 1976. Namun, gangguan dari sayap kanan, terutama JLP yang disokong CIA/AS, terus berlangsung. Dan aksi kekerasan menggoyang pemerintahan PNP terus berlanjut hingga tahun 1980. Di pemilu 1980, PNP kalah. Pemenangnya adalah JLP dan Edward Seaga menjadi Perdana Menteri.
6. Persatuan Afrika Menentang Imperialisme
Bob Marley sangat dipengaruhi oleh ajaran Rastafari, yang memadukan antara ajaran Marcus Garvey dan spirit anti-imperialisme. Marcus Garvey, yang lahir di Jamaika 1887, memperjuangkan emansipasi bagi kulit-hitam Afrika. Ia berseru “Afrika untuk Afrika”.


Dalam konteks itu, Garvey menganjurkan agar orang-orang Afrika menghargai akar historis dan kulturalnya sebagai bangsa Afrika. Salah satu pesan Garvey yang menancap kuat dalam pemikiran Bob Marley adalah: “emancipate yourselves from mental slavery, none but ourselves can free our mind.” Kata-kata Garvey itu menjadi bait-bait dalam lagu Bob Marley berjudul Redemptiong Song.
Ada banyak lagu Bob Marley yang berbicara mengenai pembebasan rakyat Afrika dari mental perbudakan dan imperialisme, seperti Buffalo Soldier, Chant Down Babylon, Zimbabwe, dan War. Dalam lagunya, War, Bob Marley mengutip pidato Kaisar Ethiopia, Haile Selassie I, di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1963. Pidato itu menegaskan bahwa perdamaian tidak akan mungkin terjadi selama dunia masih memegang cara pandang yang menganggap ras tertentu lebih superior terhadap ras lain, jika masih ada kelas-kelas dalam masyarakat setiap bangsa, jika masih ada diskriminasi karena perbedaan warna kulit, dan sebelum hak azasi setiap manusia dijamin tanpa memandang perbedaan ras dan warna kulit.
Bob Marley juga mendukung perjuangan rakyat Zimbabwe, yang dipimpin oleh Robert Mugabe, melawan rezim rasialis Rhodesian. Ia menulis lagu berjudul “Zimbabwe”. Dan, di tahun 1980, saat peringatan kemerdekaan Zimbabwe, Bob Marley tampil menyanyi di hadapan 80.000 orang.
Ia juga getol dalam menentang apartheid di Afrika Selatan. Di Boston, pada tahun 1979, Bob Marley tampil dalam Amandla Festival sebagai bentuk solidaritas dalam perjuangan mengakhiri kekejian apartheid di Afrika Selatan.
Begitulah. Bob Marley bukan hanya revolusioner dalam kata-kata dan lagunya, tetapi juga dalam perbuatan. Dan, seperti diakuinya sendiri, ia adalah seorang revolusioner yang menggunakan musik sebagai salah satu alat perjuangannya.





Tidak ada komentar: