Mahasiswa dan Obsesi Politik Pragmatisme di Papua
Oleh : Ayob Tabuni
Foto Ayob Tabuni (Facebook)
1.
Prakata
Di
dunia ini hanya ada dua subjek yang diberikan mandat ‘lex specialis’ untuk
disebut “Maha” yakni “Maha Kuasa dan Maha Siswa”. Kedua istilah ini bukan
semata-mata suatu idiom, melainkan sebutan yang memiliki makna eksplit yang
menakjubkan. “Maha Kuasa” berarti sangat besar, teramat besar kuasa-Nya, Maha
Guru dll. Sedangkan “Maha Siswa” pun demikian setara maknanya dengan pemilik
tunggal istilah Maha Kuasa tadi. Tetapi subjek yang dikenakan adalah pasca
siswa sehingga disebut mahasiswa.
So, apa
yang patut dibanggakan dari peran para penyandang status ini? Apa kelebihan
mereka dan apa yang menyebabkan mereka dapat memiliki suatu panggilan khusus
yang setara dengan Tuhan, Raja bahkan Presiden sekalipun ?
Obsesi
dalan konteks tulisan ini akan diarahkan pada semua perilaku yang selama ini
diwujudnyatakan para mahasiswa; dengan cenderung terlibat dalam kegiatan
politik pragmatis; sehingga mengabaikan peran utamanya sebagai pewaris mandat
rakyat melalui kontrol sosial selaku agen perubahan dalam meresolusi kompleksnya
problematika rakyat di Papua.
2.
Obsesi Sebagian Mahasiswa Papua: Antara Popularitas dan Politik Pragmatis
Popularitas
bukan Populisme, kwitansi bukan kualitas, proposal bukan proses, merupakan
istilah-istilah yang barangkali cocok untuk menjelaskan habitus utama para
mahasiswa masa kini. Obsesi politik pragmatisme menjadikan para mahasiswa masa
kini menjadi ‘buta’ dan baal akan realitas kekerasan dan marginalisasi yang
dialami kalangan populis. Mereka cenderung ikut-ikutan dalam mimikri elitisme
yang sarat penyakit sosial KKN yang terus menyengsarakan rakyat secara
berkesinambungan.
Dimulai
dari menjamurnya organisasi-organisasi di Papua, baik organisasi Gereja,
Distrik, Suku, Kabupaten, Provinsi, Kedinasan, Partai politik, Perguruan Tinggi
hingga Dunia Sosial Media. Mimikri yang bertranformasi menjadi obsesi muncul
saat kontak awal para pentolan organisasi ini dengan narasumber yang dihadirkan
dari kalangan elit-borjuis lokal, setingkat Gubernur, Bupati, Kepala Dinas,
anggota DPRD, Konglomerat dsb ; melalui perhelatan berbagai kegiatan
keorganisasian.
Akhirnya
tercipta komunikasi, perkenalanan dan dialog yang memungkin terjadinya transfer
gaya, mode dan pengetahuan berbau politik yang menciptakan daya tarik tertentu
bagi para pentolan organisasi tadi. Melalui intensitas komunikasi yang lebih,
akhirnya meningkatkan frequensi diskusi baik tentang politik, hukum, jabatan
dll. Lambat laun munculah ilusi-ilusi yang menghantarkan para mahasiswa menjadi
penyandang obsesi untuk terjun dalam politik pragmatis ini.
Disamping
jaras ini, terdapat pula poros lain yang memproduksi sikap obsesif mahasiswa
melalui dorongan keluarga yang berhaluan pragmatisme dan berstatus kelas
menengah ke atas. Pada tatanan ini hanya cenderung mereproduksi jiwa
pragmatisme, kapitalisme kepada para anak-anak mereka yang berstatus sebagai
mahasiswa.
Buruknya
model mahasiswa ini adalah setelah terjangkitnya obsesi itu mereka jadi
tertutup untuk memperjuangkan berbagai aspirasi masyarakat. Mereka lebih
memilih diam, apatis dan cenderung menjadi benalu. Istilah trennya berubah
wujud menjadi abu-abu dan hanya bertipe mahasiswa ‘hura-hura oriented’. Mereka
tidak menunjukan afeksi yang jelas atas berbagai situasi politik yang
menyengsarakan rakyat. Kelompok ini sangat beresiko menjadi penyebab
penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
3.
Wujudnyata Tindakan Populisme Lenyap di Lindas Sistem: Bukan Mengubah Sistem
Tak
jarang kita mendengar argumen, “semuanya nanti kita bikin yang penting masuk
sistem dulu”. Ungkapan seperti ini banyak diucapkan mahasiswa Papua. Namun,
ironisnya kebanyakan yang terjadi adalah sebaliknya. Sesudah masuk sistem
mereka ini tampak diubah oleh sistem. Mereka tidak pernah sadar bahwa sistem di
Desa, Distrik, Kabupaten-Provinsi Papua ialah satu-kesatuan sistematis yang
dikontrol oleh pusatnya di Jakarta. Mereka akhirnya tampak jadi penjaga dan
pengabdi sistem tadi di tanah Papua dengan trus menyengsarakan rakyatnya
sendiri. Mereka tidak pernah sadar bahwa jika mau lawan sistem, maka harusnya
membuat suatu sistem tandingan. Bukan malah masuk sistem yang didominasi oleh
satu kelompok suku, ras, agama dan pandangan ideologi tertentu ini.
4.
Dampak Obsesifnya Mahasiswa Papua
Pelanggaran
HAM yang tidak pernah tuntas, pembangunan yang hanya bersifat ilusi, rakyat
semakin menderita dan terhimpit dalam semua sisi adalah produk dari matinya
idealisme dan independensi mahasiswa Papua. Bukan itu saja merajalelanya
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang kian menciptakan kesejangan juga
buah dari praktek obsesi kita sebagai mahasiswa. Tingginya penggangguran
produktif di Papua juga merupakan dampak dari obsesi mahasiswa yang melewati
‘bridge’ penddikan hanya untuk menjadi PNS tanpa memikirkan inovasi kualitasnya
dalam membuka dunia usaha baru. Jika demikian bukan salah bahwa kita sebagai
mahasiswa sedang berada pada fase kritis karen tidak mampu memainkan peran kita
sebagaimana mestinya.
5.
Penutup
Mengakhiri
tulisan ini, penting bagi para mahasiswa masa kini untuk mengambil tiga
perannya sebagai pilar penentu transformasi kehidupan rakyat. Terlebih adalah
dengan menjauhkan sikap bermesra-mesraan (bercumbu) bersama para pejabat di
Papua guna menghindarkan mental ketergantungan dan obsesi. Maka dengan
menyadari diri sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan iron stok (tenaga
siap pake) ; haruslah dapat menerobos kevakuman idealisme kritis, sembari terus
memprakarsai transformasi menuju reformasi dan revolusi.*
Penulis Adalah Ayob Tabuni Mahasiswa Papua Kuliah Di
Malang (Jawa Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar