Masyarakat Adat Papua di Tengah Arus Modernisasi
Oleh Ayob Inubat
Tanah Papua dibagi ke dalam dua
Provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Berdasarkan Data Proyeksi Penduduk
Indonesia 2010-2035 yang diterbitkan Bappenas 2013, jumlah penduduk Provinsi
Papua dan Papua Barat pada Tahun 2017 berturut-turut 3.265.200 dan 915.4000
ribu jiwa. Tanah Papua juga memiliki keanekaragaman hayati dan budaya paling
tinggi di seluruh Indonesia.
Meski pun demikian berdasarkan
data Badan Pusat Statistik 2016, Papua dan Papua Barat menempati urutan
terbawah pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diantara provinsi-provinsi lain
di Indonesia. IPM Paling rendah adalah Provinsi Papua yaitu 58,05 dan di
atasnya Provinsi Papua Barat 62,21.
Hal ini menjelaskan bagaimana
penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar
yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan
(knowledge) dan standar hidup layak (decent standard of living).
Berbagai agenda pembangunan
infastruktur dan industri dicanangkan oleh pemerintah di Tanah Papua. Untuk
mempercepat pelaksanaan agenda-agenda itu, pemerintah menjadikan pihak swasta
sebagai mitra strategis. Pada era Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, ada
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di
mana Tanah Papua menjadi sasarannya.
Di Tanah Papua dibentuk Unit
Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Di bawah Pemerintahan
Jokowi, semua berjalan lebih cepat. Kendala infrastruktur dan konektivitas satu
persatu diselesaikan. Ada pembangunan pembangkit listrik, pelabuhan dan
bandara, hingga jalan trans Papua dan rencana pembangunan jalur kereta api.
Alokasi anggaran untuk Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) di 2017 mencapai
Rp 7,6 triliun, naik tipis dari 2016 sebesar Rp 7,59 triliun.
Di tengah ambisi Pemerintah
untuk memajukan Tanah Papua, terdapat masyarakat adat Papua yang terpinggirkan
serta tanah dan hutan Papua yang terancam rusak. Proyek-proyek pembangunan
sumber daya yang menggunakan tanah dan kawasan luas, bercorak ekstraktif dan
eksploitatif, serta tidak berpihak pada masyarakat adat adalah penyebab utama.
Proyek-proyek penebangan kayu, perkebunan skala besar, pertambangan, dan
berbagai proyek di Papua, hanya menguntungkan segelintir orang yakni pemilik
modal dan birokrat yang korupsi.
Dengan situasi ini,
kesejahteraan rakyat Papua yang menjadi tujuan pembangunan tidak saja menjadi
gagal. Tapi lebih jauh lagi, tanah dan hutan sebagai sumber dan tempat hidup
menjadi rusak, serta rusaknya tatanan sosial masyarakat adat Papua. Selain itu
terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan hingga konflik di antara
masyarakat sendiri yang pada akhirnya berujung pada makin banyaknya perisitiwa
pelanggaran HAM.
Untuk memperkuat posisi
masyarakat dan mendorong adanya perhatian publik terhadap situasi di Tanah
Papua, maka perlu terus menerus dilakukan kampanye dan advokasi. Kampanye
dilakukan dalam banyak bentuk, salah satunya adalah lewat media Film. Papua
Voices adalah komunitas film yang terbentuk pada Tahun 2011.
Berawal dari program pelatihan
produksi dokumenter yang dibuat oleh Engage Media yang bekerja sama dengan
SKPKC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke dan JPIC MSC di Merauke.
Para peserta pelatihan lalu menyatukan diri di bawah wadah Komunitas film
bernama Papuan Voices.
Papuan Voices menyelenggarakan
dua kegiatan utama yaitu penguatan kapasitas generasi muda di dalam memproduksi
audio visual dan kedua, dsn melakukan kampanye dan advokasi terkait isu-isu
penting di Tanah Papua.
Pada Mei 2017.
Pada Mei 2017.
Kemudian, Papuan Voices
bersepakat untuk melaksanakan Festival Film Papua (FFP) dan menjadikannya
sebagai agenda tahunan. Gagasan dasar pelaksanaan Festival Film Papua adalah
ingin memperkenalkan film-film karya anak-anak muda Papua tentang alam dan
manusia Papua. Festival Film Papua (FFP) Pertama dilaksanakan di Merauke pada
7-9 Agustus 2017.
Sebagai rangkaian dari
keseluruhan FFP pertama ini dilaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain,
workshop dan produksi film di enam wilayah, kompetisi film, pameran dan
workshop media. Ada lebih dari 10 Film pendek yang dihasilkan dari workshop, 27
film yang ikut kompetisi, lebih dari 50 peserta workshop media, serta berhasil
mengumpulkan 700 penonton dalam 3 hari Festival Film di Kota Merauke.
Di tahun 2018, FFP kedua akan
diselenggarakan di Kota Jayapura pada 7-9 Agustus 2018 dengan rangkaian
kegiatan yang sama. Tema yang kami angkat untuk FFP II adalah “Masyarakat Adat
Papua di Tengah Arus Modernisasi”. Tema ini kami pilih sebagai bentuk respon
terhadap situasi di Tanah Papua saat ini. Tema ini menjelaskan posisi
masyarakat adat di tengah arus pembangunan dan investasi yang makin banyak
masuk ke Tanah Papua.
Tujuan pelaksanaan FFP II yakni
memperkenalkan situasi masyarakat adat Papua dan berbagai permasalahannya lewat
film documenter, membangun kesadaran publik akan isu-isu penting yang dihadapi
oleh masyarakat adat Papua, mendorong dan memperkenalkan filmmaker muda Papua
yang terampil dalam produksi dan distribusi film dokumenter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar